Mengapa Jalur Rel KA di Indonesia Banyak Yang Mati ? Ini Beberapa Alasannya

Selamat dan semangat pagi sobat semua dan Salam SPoor..!!!!! Semoga sobat semua selalu dalam keadaan sehat dan selalu bersemangat untuk menjalankan berbagai macam kegiatan yang ada di hari ini. Jika sebelumnya saya membahas mengenai perspeklif lain dalam melihat alasan mengapa Indonesia memilih lebar rel 1067 mm, maka pada postingan kali ini saya akan menjelaskan mengenai beberapa pandangan alternatif dalam melihat alasan banyaknya jalur rel yang mati di Indonesia.Fenomena ini merupakan fenomena yang cukup menarik untuk dibahas sob, kenapa? Karena jika kita merujuk pada sejarah perkembangan jaringan rel KA di Indonesia, Indonesia pada masa awal kemerdekaannya, bersama dengan India, Indoensia telah menjadi negara dengan jaringan rel terpanjang di Asia. Dimana jaringan jalur rel di Indonesia merupakan jaringan jalur rel yang dinasionalisasi dari beberapa perusahaan kereta api baik milik swasta maupun negeri pada masa kolonialisasi, dan India merupakan warisan dari masa kependudukan Inggris. Meskipun demikian, seiring dengan berjalannya waktu, secara berlahan namun pasti, jumlah panjang jalur rel di Indonesia secara berlahan berkurang sedikit demi sedikit. Beberapa jalur aktif yang pada masa kolonial Belanda merupakan jalur potensial, berubah menjadi jalur mati, bahkan mirisnya adalah, tidak ada yang tersisa dari jalur rel tersebut, selain hanya patok-patok aset milik PT KAI dan beberapa telah menjadi bangunan padat penduduk. Dalam postingan ini, saya akan mengulas beberapa alasan mengapa banyak jalur rel mati di Indonesia, setelah kemerdekaan Indoensia di tahun 1945.


Jika kita lihat secara seksama, banyaknya jalur rel aktif menjadi non aktif di Indonesia adalah pada rentang waktu tahun 1960, 1970, 1980, sampai dengan 1990. Pada era tahun 2000-an, telah menyisakan jalur aktif yang dinilai potensial dan dikembangkannya jalur rel ganda di Pantai Utara dan dibukanya beberapa jalur rel non aktif sebagai jalur perintis dan jalur pintas. Pertama, Perubahan orientasi dari sebelum kemerdekaan dengan setelah kemerdekaan. Pada masa kolonialisasi, kereta api memiliki peran strategis bagi perusahaan-perusahaan perkebunan dan tambang milik Belanda, sebagai moda transportasi utama untuk distribusi barang dari perkebunan dan tambang menuju pabrik-pabrik dan pelabuhan guna kepentingan ekspor Belanda di pasar Eropa. Beberapa hasil bumi yang memiliki nilai ekspor saat itu diantaranya adalah, gula, kopi, teh, baru bara, dan minyak bumi. Maka tidak heran, mengapa di awal kehadiran KA di Indonesia, justru dipelopori oleh perusahaan kereta api swasta Belanda yang dikenal dengan penamaan Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (N.I.S.M) dari Tanggung menuju Semarang yang memiliki panjang 26 kilometer, dan berkantor pusat di gedung yang sekarang kita kenal dengan sebutan Lawang Sewu di Semarang. Bahkan jika kita liahat beberapa jalur rel non aktif yang ada sekarang, hampir seluruhnya merupakan jalur rel yang dibangun dengan orientasi mengangkut sumber daya alam yang ada, dari perkebunan, menuju pabrik pengolahan, dan kemudian menuju ke pelabuhan untuk ekspor. Ambil saja beberapa contoh seperti yang ada di Malang ini, dulunya terdapat beberapa jalur rel dari Malang sampai dengan Pakis, kemudian ada juga jalur rel dari Malang sampai dengan Dampit melalui Gondanglegi dan Turen, dimana pada jalur tersebut terdapat dua pabrik gula besar, dan sebagai sarana distribusi hasil perkebunan tebu dan kopi. Jalur di Stasiun Kedinding, terdapat seperti sebuah crane statis, yang sepertinya dhulu digunakan untuk bongkar muat dari lori menuju kereta besar. Bahkan di sisi Utara jalur rel aktif, saya dapat melihat sisa-sisa adanya persilangan antara jalur rel lori dengan jalur kereta besar. Kemudian ada juga jalur rel dari Yogyakarta sampai dengan Ambarawa dengan percabangan sampai dengan Parakan melalui Temanggung, yang dapat saya lihat, bahwa angkutan hasil bumi sangat mendominasi sebagai faktor utama dibukanya jaringan rel kereta api ke tempat tersebut. Namun apa yang terjadi sekarang? Setelah kemerdekaan RI, terjadi perubahan orientasi yang cukup signifikan dari kegunaan angkutan dengan menggunakan KA, dari yang sebelumnya digunakan untuk angkutan barang menjadi beralih ke angkutan penumpang.

Perubahan orientasi tersebut dikarenakan ada perubahan pada kepemilikan dan pengelolaan lahan perkebunan dan pertambangan yang ada. Dari cerita yang coba saya telisik dari teman saya yang kebetulan fokus dari penelitiannya dan pengabdianya ke pada masyarakat berkaitan dengan kopi di Dampit. Dulunya di Dampit terdapat perkebunan kopi besar yang di kelola oleh perusahaan swasta milik Belanda, dimana perusahaan-perusahaan tersebut berada di bawah naungan V.O.C, mungkin kalau sekarang VOC bisa diibaratkan sebagai kamar dagangnya.  Oleh karena itu, perkembangan yang terkadi di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), tidak terlepas dari keberadaan perusahaan-perusahaan swasta dan negeri milik Belanda yang melakukan investasi di tanah jajahan. Nilai positif yang didapat dari wilayah jajahan adalah (saya gak berani bilang itu keuntungan ya sob) banyaknya warisan peninggalan berupa teknologi dan bangunan yang diperoleh, meskipun pada kenyataannya banyak juga hasil bumi kita yang diangkut. Artinya, kereta api saat itu hidup karena adanya jaringan distribusi yang kuat antara perusahaan swasta terutama yang bergerak pada bidang ekspor hasil bumi. Menarik kan sob? hehehe.. Saya lanjutkan lagi ya terkait dengan perubahan orientasi tadi. Setelah merdeka, perusahaan-perusahaan tersebut dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia, maka gak heran tuh sob, kenapa terjadi agresi militer Belanda I dan II, yang intinya adalah mengambil atau merebut kembali aset yang ada di wilayah yang kemudian di kenal dengan sebutan Indonesia tadi sob. Makanya, Belanda rela membawa pasukannya bersama dengan pasukan Inggris untuk merebut wilayah RI secara politik, Pada saat itu banyak banget perjanjian-perjanjian dibuat, mulai dari garis wilayah, pembagian wilayah, bentuk negara serikat, dll dah sob, intinya? ya itu tadi, kembalikan aset milik Belanda yang ada di Indoensia. Sampai disini bisa dimengerti kan sob, betapa Belanda entah itu swasta maupun negara, sudah berinvestasi besar di wilayah jajahannya dan ternyata semuanya berubah setelah meletus Perang Dunia II.

Hal tersebut juga berimbas pada wilayah lahan perkebunan, pabrik, dan juga aset Belanda lainnya di Indoensia, termasuk kereta api sob. Wilayah perkebunan yang awalnya dikelola oleh perusahaan swasta dengan jaringan distribusi yang sudah bagus dan pasar yang sudah jelas, kemudian akhirnya dikelola oleh Indoensia sebagai negara yang baru yang mana masih bingung ngurusin ini itu. Boro-boro mau ngurus jaringan distribusi dan pasar sob, orang kondisi ekonomi dan politik dalam negeri juga masih carut marut kan waktu itu. Nah akhirnya apa yang terjadi, hukum ekonomi bekerja sob, ya mirip kayak masa Corona ini lah sob. Produktivitas berhenti, otomatis jaringan distribusi juga berhenti sob. Imbaasnya apa? ya jelas ke kereta api sob. Kalau awalnya kereta api punya okupansi yang tetap dan jelas yaitu untuk distirbusi hasi perkebunan, nah setelah merdeka dan perkebunan berhenti, lantas apa yang mau diangkut? Munculah kemudian masalah klasik dalam dunia transportasi sob, yang juga menyebabkan kolepsnya banyak perusahaan transprtaasi, yaitu biaya operasi yang tinggi dan minimnya okupansi. Mau ngangkut orang juga rugi sob, muatnya banyak tapi hasilnya juga gak seberapa. Apa lagi kondisi ekonomi Indonesia di awal kemerdekaan sulit sob. Pernah dengerkan "gunting syarifuddin" sob, dimana ada pemotongan nilai mata uang. Nah, kalau begini, bagaimana kereta api disegala penjuru wilayah mau beroperasi secara optimalkan. Itu dia sob, kenapa sampai sekarang, kalau kita bicara tentang kereta api, sebenarnya jauh lebih menguntungkan untuk mengangkut barang dari pada orang. Ngankut orang biaya operasionalnya banyak sob, mulai dari ini itu, belum lagi di stasiunnya, dll sob.

Kedua, Kondisi ekonomi, sosial, dan politik domestik dan internasional yang kurang stabil pada masa awal kemerdekaan. Kesulitan keuangan negara untuk dapat menghidupkan operasi jalur rel. Ini seperti yang saya katakan diawal tadi sob, kondisi ekonomi, politik, dan sosial Indonesia lagi tidak stabil. Belum lagi pada awal kemerdekaan terjadi beberapa drama pemberontakan sob. Nah lagi-lagi sob, kereta api terkena imbasnya sob, mulai dari sabotase dll sob. Yangmana, namanya sabotase kan pasti merusak tuh sob, memperbaikinya lagi kan gak murah sob. Uang masuknya gak ada, pengeluarannya pasti, bingungkan. Maka gak heran, berlahan tapi pasti beebrapa jalur rel tersebut kemudian mati sob. Nah ada lagi nih faktor ketiga sob. Ketiga adalah, karena beralih kepengurusan perusahaan kereta api yang ada di wilayah Jawa dan Sumatra. Kalau sebelumnya operator dari kereta api dan jalur trayekya adalah perusahaan yang sudah seatle, nah setelah kemerdekaan sama nasibnya seperti lahan perkebunan tadi sob, dialihkan ke pemerintah Indoensia, yang dalam hal ini artinya belum seatle dan masih harus kembali memulainya dari awal. Seperti contoh di Jawa Timur ajaob, sudah ada berapa perusahaan kereta api sob, mulai dari yang trem dalam kota, sampai dengan trem antar kecamatan, dan juga oerusahaan kereta api besar seperti SS. Yang mana, kesemua perusahaan tersebut, sudah memiliki struktur manajerial yang jelas, mulai dari SOP teknis, sampai dengan sistem keuangannya. Dan itulah inti dan kunci pergerakan perusahaan-perusahaan tersebut dapat berjalan dan terkoordinasi dengan baik. Maka jangan heran sob, meski asetnya diambil alih oleh Pemerintah Indonesia dibawah PT KAI, namun perusaahaan olat merah tersebut masih berfokus pada jaringan jalir rel kereta besar yang aktif seperti yang kita nikmati sekarang ini. Bukan tidak bisa sob, hanya menunggu waktu saja saya kira, karena kompelsitas manajemen itu tadi, karena kalau dilihat, beberapa petak jalur rel non aktif saat ini, secara berlahan menunjukkan potensinya kembali, meski bukan lagi untuk distribusi barang tambang dan perkebunan, namun ada aspek dan potensi pariwisata disana.

Keempat, Persaingan antar moda transportasi, terutama dengan kendaraan roda empat. Pada masa Orde Baru, tahun 1969, Pemerintah Indonesia mulai mencanangkan program pembatasan impor otomotif dari luar negeri. Awalnya saya mengira bahwa, matinya jaringan jalur rel kereta api di Indonesia banyak disebabkan oleh faktor ini, ternyata tidak juga sob. Rumitnya birokrasi terkait dengan pembukaan kembali jalur non aktif, juga terbenturnya aturan dengan beberapa kebijakan kota dan daerah juga memiliki peranan. Kemungkinan keberadaan kendaraan pribadi awalnya adalah sebagai upaya pemerintah untuk mendatangkan investor dan memberikan suntikan bagi pertumbuhan ekonomi nasional melalui industrialisasi. Itu awalnya lho ya, namun mungkin nih ya sob, entah kenapa, semakin kesini, mungkin semakin keenakan. Akhirnya lupa, dan sudah terlanjur banyak jumlah otomotif yang beredar di Indonesia. Mau berhenti sayang, mau dilanjutkan jalanan sudah gak muat juga. Disisi lain, sudah banyak jalur rel yang mati, karena itu tadi sob, emang angkutan jalan raya lebih simpel. Karena dari segi waktu dapat disesuaikan, kemudian dsri segi harga juga cukup bersaing, apa lagi bisa berhenti dimana saja. Namun yang saya lihat, masyarakat Indonesia kebanyakan juga sudah terlena dengan kemudahan tersebut. Akhirnya pola kebiasaan kita juga berubah secara berlahan. Yang awalnya rajin jalan kaki atau naik sepeda ontel, sekarang karena lebih mudah, lebih pilih naik mobil atau motor pribadi, apa lagi harga jualnya juga cukup terjangkau dengan daya beli masyarakat Indonesia. Belum lagi, mobil dan motor disini juga menjadi simbol strata sosial baru. Akhirnya, secara berlahan sistem transportasi massal dilupakan, selain karena biaya pembangunannya kembali yang mahal, juga biaya oprasional yang tinggi.

Meskipun demikian ya sob, saya melihat adanya pola yang terjadi pada dunia perkeretaapian kita sekarang ini. Kalau saya lihat, jika merujuk pada teorinya Maslow, maka kereta api Indonesia sedang berada pada posisi tinggal landas, karena secara berlahan telah mampu untuk merekonstruksi dan mereorientasi ulang, terkait kebutuhan dan segmen pasar dari kereta api. Maka jangan heran, kalau secara berlahan, PT KAI kembali membuka dan mengupgrade jalur-jalur lama yang tadinya non aktif ataupun yang matinsuri. Mungkin itu aja ya sob, sedikit ulasan sederhana dari saya, dan semoga menambah perspektif baru dalam memandang masalah yang ada pada dunia perkeretaapian di Indoensia. Jangan lupa kunjungi terus Dipo Lokomotif Mojosari ya. Sampai jumpa pada postingan saya lainnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar