Kenapa Kereta Api Tidak Dapat Berjalan Maksimal di "Jalur Kantong"? Ini Penjelasannya

KA Jayabaya di Stasiun Tulungagung
Selamat dan semangat pagi sobat semua dan Salam Spoor...!!!! Semoga pada pagi hari yang indah dan berbahagia ini, sobat semua selalu dalam keadaan sehat dan selalu bersemangat untuk menjalankan berbagai macam aktifitas yang ada di hari ini. Jika pada tulisan sebelumnya saya membahas mengenai sejarah panjang tentang bagaimana kereta penumpang yang ada di Indonesia saat ini terbentuk, dan dari mana asal muasal spesifikasi yang digunakan oleh INKA sebagai acuan dalam membuat kereta penumpang saat ini. Dalam tulisan kali ini saya akan membahas mengenai alasan mengapa kereta tidak dapat berjalan maksimal ketika melewati jalur kantong. Sebagai bentuk desclaimer, jika sobat berharap akan mendapatkan sebuah jawaban atau penjelasan yang sangat teknis, maka alangkah baiknya, sobat hentikan membaca sampai disini. Karena apa yang akan saya jelaskan, hanya merupakan bagian dari sedikit pengetahuan orang awam, yang mencoba menjelaskannya dari sudut pengamatan dan pengalaman saja. Oleh karena itu, jangan berharap bayak mengenai data-data teknis yang rigid di dalam tulisan ini. Kembali pada pembahasan kita di pagi ini, berbicara tentang 'jalur kantong', jalur kantong yang saya maksud disini adalah jalur rel yang menghubungkan antara Malang dengan Kertosono via Blitar-Tulugagung-Kediri. Sebuah jalur rel yang dibangun oleh perusahaan kereta api negara Belanda yang bernama Staatssspoorwegen (SS), pada masa Hindia Belanda, guna keperluan angkutan barang lgositik seperti hasil olahan perkebunan, pertambangan, dan juga angkutan penumpang. Hal tersebut bisa kita kembali telisik melalui beberapa peninggalan Belanda, seperti beebrapa pabrik gula dan perkebunan yang ada di wilayah sepanjang jalur kantong. Bahkan konon, juga terdapat sebuah halte yang hanya digunakan untuk mengangkut marmer dari daerah sekitar Sumberpucung-Pogajih. Namun saya tidak akan membahas mengenai motivasi Belanda membangun jalur rel ini, yang akan saya bahas adalah lebih pada kenapa kereta api tidak bisa ngebut melalui jalur ini.


KA Gajayana keluar terowongan
Jika dilihat melalui peta, atau kalau sekarang menggunakan aplikasi Google Map, maka kita akan dapat melihat dengan jelas posisi jalur rel KA tersebut berada, seperti apa saja kondisi bentang alam yang dilaluinya, dan seperti apa kondisi tanah yang ada di sekitar jalur rel. Setidaknya saat kita berbicara tentang kecepatan kereta api, maka beberapa hal seperti spesifikasi kereta (kemampuan bogie-traksi lokomotif), kondisi jalur rel (tikungan, kecuraman tanjakan/ turunan), kondisi tanah sekitar jalur rel (kelembapan, daya rekat tanah, jenis tanah), spesifikasi jalur rel (bantalan, batang rel yang digunakan) merupakan beberapa faktor utama yang perlu diperhatikan dan menjadi acuan bagi kecepatan kereta api saat beroperasi. Dari data yang pernah saya dapatkan, kecepatan kereta api rata-rata ketika melewati jalur kantong berkisar di angka 45-60 km/ jam, artinya kecepatn tersebut berada di kecepatan lintas saat KA berjalan melaui Surabaya-Kertosono ataupun saat berjalan di lintas Pantai Utara Jawa, yang dapat 'digeber' sampai dengan 100 km/ jam. Dari pengalaman saya pribadi, saya pernah mengabadikan (memotret) KA Malioboro Ekspres tiga kali pada tiga titik lokasi yang berbeda dalam sekali perjalanan. Saat itu saya menggunakan sepeda motor dengan kapasitas mesin yang hanya 125 cc. Artinya, meskipun terlihat cepat, sebenarnya KA tersebut berjalan pelan, atau bisa saja dibawah kecepatan bis antar kota yang melayani rute Malang-Blitar. Namun jika ditanya, kenapa KA masih tetap cepat sampai, maka jawabannya bukan pada kecepatan yang digunakan, namun pada 'kecepatan konstan' yang digunakan, karena tidak naik dan tidak turun, perjalanan stabil karena KA tidak memiliki hambatan seperti halnya kendaraan rod karet yang harus berhenti karena ada orang atau mobil yang menyebrang, lampu merah, dll.

KA Penataran di Jembatan Metro Kepanjen
Bahkan batas kecepatan tertentu tersebut, berlaku untuk semua KA, baik kelas eksekutif seperti Gajayana, maupun kelas ekonomi seperti Matarmaja. Bahkan ada seorang teman yang mengatakan kepada saya, kalau dirinya pernah ketinggalan KA Malioboro Ekspres, dan saya katakan 'jangan takut, kejar aja lewat Pujon menuju Kediri', karena saya yakin akan terkejar, ya tapi itupun kalau mau wkwkwkw. Karena Malang-Kediri via Pujon ya lumayan juga sob. Pernah juga saya membandingkan waktu tempuh sob (bukan jarak tempuh ya), antara Maliboro Ekspres dengan KA Fajar Utama Yogyakarta yang memiliki rute Jakarta-Yogyakarta, untuk jarak dari Jakarta menuju Yogyakarta, KA Fajar Utama hanya memakan waktu 7 jam 56 menit sampai 8 jam 12 menit. Bandingkan dengan KA Malioboro Ekspres yang memiliki rute lebih pendek, dari Malang menuju Yogyakarta yang berjarak 393 kilometer, membutuhkan waktu 7 sampai 8 jam perjalanan. Pengalaman lainnya adalah ketika saya naik KA Jayabaya, yang harus memutar melalui Blitar untuk sampai ke Surabaya dikarenakan saat itu terjadi luapan banjir Porong. Untuk dapat sampai ke Surabaya, KA Jayabaya memakan waktu selama 6 jam perjalanan, melalui Blitar-Kediri-Kertosono, dengan catatan, KA Jayabaya minim pemberhentian dan langsung swosh sob. Jika dilihat kembali, memang terjadi pembatasan kecepatan KA, terutama pada petak yang memiliki kontur tanah yang mudah longsor atau ambles. Terutama saat KA berjalan melewati wilayah sektiar bendungan Karang Kates, yang terletak antara Blitar-Malang. Rangkaian KA terlihat berjalan pelan sekali, hal tersebut dapat saya ketahui dari jumlah foto yang saya abadikan jauh lebih banyak dibandingkan pada spot lainnya di jalur kantong.

Jalur rel di petak jalur kantong
Bahkan 'kecurigaan' saya bukan hanya masalah pada kondisi tanah, namun juga pada batang jalur rel yang digunakan, yang kemungkinan masih merupakan batang rel kecil, warisan Staasspoorwegen. Nah lur, sedikit out of the topic nih ya, ada sesuatu yang buat saya menarik juga, jalur kantong kan dibangun oleh SS ya, tapi saya pernah menemukan batang rel NIS yang digunakan pada jalur kantong sob. Karena kebanyakan, spesifikasi jalur rel yang baru, menggunakan tipe rel R54, yang bajanya jauh lebih besar (tinggi-lebar) dan konon secara teknis, lebih cocok digunakan untuk spesifikasi kereta api yang ada di Indonesia sekaran ini yang memiliki bobot lebih berat dan spesifikasi lebih besar dari kereta api jaman Belanda. Tidak hanya batang rel yang belum R54, untuk beberapa bantalan yang ada ada yang baru diupgrade ke bantalan beton, terutama bantalan yang berada di dalam terowongan Eka Bhakti dan Dwo Bhakti (sekarang namanya Karang Kates I dan Karang Kates II). Setidaknya itu beberapa faktor yang menyebabkan rangkaian KA tidak bisa digeber sampai dengan keepatan maksimal di petak tersebut sob. Oke sob, mungkin itu saja beberaa keterangan dan penjelasan yang dapat saya sampaikan sob, jangan lupa untuk terus mengunjungi Dipo Lokomotif Mojosari karena masih ada lagi, informasi menarik lainnya sob. Sampai jumpa pada postingan saya lainnya.

1 komentar: