Jalur rel di Aceh (Tropenmuseum) |
Selamat dan semangat pagi sobat semua dan Salam SPoor...!!!! Semoga pada pagi hari ini sobat semua selalu dalam keadaan sehat dan selalu bersemangat untuk menjalankan berbagai macam aktifitas yang ada di hari ini. Jika pada postingan sebleumnya saya membahas mengenai alasan jalur rel Trans Sumatra menggunakan lebar rel 1.435 mm, maka dalam postingan kali ini saya akan mnecoba untuk menjawba sebuah pertanyaan, mengapa jalur rel di Pulau Sumatra tidak terhubung satu dengan lainnya. Untuk jaringan rel KA di Sumatra sendiri, setidaknya dibangun oleh satu perusahaan KA Swasta dan tiga perusahaan milik negara yang merupakan anak perusahaan dari Staatsspoorwegen (SS). Perusahaan swasta yang beroperasi di Sumatra adalah Deli Spoorweg Maatschappij, N.V., sedangkan untuk tiga perusahaan negara adalah Atjeh Tram, Staatsspoorwegen ter Sumatra's Westkust, dan Zuid-Sumatra Staatsspoorwegen. Menjadi menarik untuk dibahas, bahwa, meskipun memiliki panjang pulau yang hampir sama dengan pulau Jawa, namun Pulau Sumatera tidak memiliki jaringan jalur rel yang terhubung seperti halnya yang ada di Pulau Jawa. Bahkan, beberapa jalur rel di Sumatera, cenderung berlahan non aktif.
Jalur rel Palembang-Lampung pada masa Hindia-Belanda |
Pembangunan jalur rel di Aceh dibangun oleh Atjeh Tram (AT) pada tahun 1876 berganti nama menjadi Atjeh Staatsspoorwegen (ASS) di tahun 1916 dan berkantor pusat di Banda Aceh. Perusahaan tersebut memiliki panjang jalur operasional sepanjang 528 km dengan lebar rel 1067 mm dan juga 750 mm. perusahaan Atjeh Staatsspoorwegen (ASS) beroperasi dari tahun 1882 sampai dengan 1942. Sumatra Utara oleh Deli Spoorweg Maatschappij, N.V. (DSM) tahun 1889 dengan total panajng jalur rel 440 km dan berkantor pusat di Medan. Sedangkan untuk jaringan rel kereta api di Sumatra Barat dibangun oleh Staatsspoorwegen ter Sumatra's Westkust (SSS) pada tahun 1891 sampai dengan 1950 (saat ini menjadi Divisi Regional II Sumatra Barat) dan berkantor pusat di Kota Padang. Jaringan rel tersebut memiliki panjang lintasan operasi, 264 km dan menggunakan lebar rel 1067 mm. Pada tahun 1871, W.H De Grave menemukan kandngan batu bara di daerah Swwah Lunto. Hal tersebut semakin menguatkan niat Belanda untuk membangun jaringan rel dari Padang Panjang menuju Muaro Kalaban, dengan panjang lintasan sejauh 56 kilometer. Pada bulan Oktober tahun 1892, jaringan rel sepanjang 56 kilometer tersebut, selesai dibangun dan mulai dioperasikan. Sedangkan untuk Sumatra Selatan, dibangun oleh Zuid-Sumatra Staatsspoorwegen (ZSS) atau Staatstramwegen op Zuid-Sumatra (SZS) pada tahun 1914 (sekarang menjadi Divisi Regional III Palembang dan IV Tanjungkarang). ZSS memiliki panjang jalur operasional sejauh 529 km dengan lebar rel 1067 mm dan memiliki kantor pusat di Kota Bandar Lampung.
Stasiun Medan di bawah kepemilikan DSM |
Masa kependudukan Jepang, jaringan rel yang sebelumnya dibangun oleh perusahaan swasta dan negara milik Belanda di Hindia Belanda, diambil alih oleh Jepang. Dimana Jepang membentuk apa yang dinamakan dengan Rikuyu Sokyuku (Dinas Kereta Api) sebagai operator kereta api di Hindia Belanda. Mulai dari tahun 1942 sampai dengan 1945, terjadi kembali perubahan orientasi perkeretaapian di Hindia Belanda, dimana jika pada masa kependudukan Belanda, jaringan rel kereta api digunakan untuk mendukung distribusi angkutan barang dan manusia, maka pada masa kependudukan Jepang, kereta api lebih digunakan untuk mendukung Jepang sebagai pemenuhan kebutuhan perang Jepang di Pasifik dan Asia. Bahkan beberapa jaringan jalur rel yang dibangun oleh Belanda, ada yang dibongkar dan diangkut ke eilayah Burma (Myanmar) untuk membangun jaringan rel KA disana, dan menghubungkan antara Burma dengan Thailand. Bahkan untuk di Sumatra sendiri, Jepang membangun jalur rel yang dikenal dengan "death railway", dari Muaro menuju Pekanbaru, dengan orientasi sebagai pemenuhan logistik perang, terutama kebutuhan akan batu bara. Dalam pembangunan jaringan rel maut tersebut, Jepang memeperkerjakan masyarakat sipil dari Jawa dan juga para tawanan perang dari pihak Belanda dan Sekutu. Untuk kebutuhan bantalan rel, batang rel, lokomotif, dan gerbong keretanya sendiri diambil dari wilayah Jawa seperti jaringan milik Malang Stroomtram Mastjapij (MSM), jalur rel di Jawa Tengah milik NISM, serta beberapa jalur rel milik de Semarang–Cheribon Stoomtram Maatschappij, N.V. (SCS) di Jawa Tengah.
Peta Trans Sumatera era Hinda Belanda |
Dari perjalanan sejarahnya, dapat kita lihat sob, bahwasannya baik anak perusahaan dari perusahaan KA negara milik Belanda maupun perusahaan swasta yang ada di Sumatera sudah memiliki proyeksi kedepan terkait dengan jaringan jalur rel yang ada di Pulau Sumatera, dimana berusaha untuk menghubungkan jaringan jalur rel kereta baik yang ada di Aceh dengan Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan. Pada pertengahan tahun 1920, perusahaan negara milik Belanda SS, kembali ingin melakukan penjajakan terkait rencana pembangunan lanjutan jaringan rel KA dari Pekanbaru menuju Muaro. Namun kondisi struktur tanah yang cenderung berbukit-bukit, memaksa pembangunan rel tersebut membutuhkan banyak terowongan, belokan, dan jembatan untuk dapat menembus hutan belantara. Kondisi alam tersebut, menjadikan biaya yang dibutuhkan untuk membuka jaringan tersebut menjadi sangat besar dan tidak sebanding dengan keuntungan yang dihasilkan, yang hanya mengandalkan dari angkutan baur bara. Sehingga jaringan jalur rel terusan tersebut, tidak kunjung dibangun sampai kedatangan Jepang di Hindia Belanda pad atahun 1942. Sayangnya, desain rancang bangunan proyek jalur rel terusan tersebut, jatuh ke tangan Jepang, dan Jepang berusaha untuk mewujudkan proyek tersebut. Masalah keuangan, akibat nilai ekonomis yang cenderung tidak menguntungkan pada saat itu, serta kedatangan Jepang di Hindia Belanda menjadi sebuah jawaban sederhana dari pertanyaan mengapa jalur rel di Sumatera tidak terhubung seperti halnya di Pulau Jawa.
Jalur rel Trans Sumatera (RIPNAS) |
Meskipun demikian, untuk proyek Trans Sumatra sendiri, terbagi menjadi tiga segmen utama, Segmen pertama, yaitu jalur Besitang - Sei Liput dengan panjang jalur 35 kilometer (km), progress-nya mencapai 85% dan ditargetkan selesai pada Desember 2020, dan setelah Besitang-Sei Liput selesai, maka selanjutnya sesi Sei Liput sampai dengan Langsa dengan panjang 45 km, yang akan mulai dibangun di tahun 2021 sampai dengan 2024. Segmen kedua, yaitu jalur Rantauprapat - Pondok S2 dengan panjang jalur 35 km, perkembangannya saat ini sudah mencapai 92% dan juga ditargetkan selesai pada Desember 2020. Selanjutnya, untuk rute rute Pondok S2 - Kota Pinang dengan panjang 27 km, akan dilanjutkan pada tahun 2021 sampai dengan 2024. Segmen ketiga, yaitu jalur Palembang - Betung dengan panjang 60 km, masih dalam tahap pengadaan lahan, dan direncanakan akan mulai dikerjakan pada tahun 2022 sampai dengan 2024. (ditulis oleh @kanjengharyo).
Utk jalur Saketi-Bayah bukannya itu daerah Banten ya mas?
BalasHapusOh iya betul mas, jadi ada dua rute yang dibangun oleh Jepang pada masa kependudukannya di Hindia Belanda pada tahun 1942-1945. Pertama Saketi-Bayah, dan kedua Muaro-Pekanbaru, yangmana keduanya dibangun dengan cara Romusha, dari penduduk pribumi dan juga tawanan perang.
BalasHapus