Jalan kereta api Surabaya-Malang sudah dibuka sejak tahun 1878. Pada
masa itu sepanjang jalan raya Kayoetangan-Tjelaket baru terdapat
beberapa rumah orang Eropa. Di sebelah timur dari jalan raya tersebut
pada waktu itu masih berupa sawah meskipun sudah terdapat tangsi militer
di sebelah timur jalan kereta api. Oleh sebab itu stasiun kereta api
ditempatkan di sebelah timur rel kereta api dan berhadapan langsung
dengan tangsi militer. Tangsi militer yang besar di sebelah timur rel
ini merupakan penghambat besar bagi perkembangan Kota Malang ke timur.
Perkembangan kota ke arah barat, yang tanahnya lebih tinggi, pada
sekitar tahun 1920-an mulai terlihat dengan jelas. Oleh karena itu letak
stasiun lama yang berada di sebelah timur rel kereta api menjadi tidak
menguntungkan. Lagi pula Lapangan JP Coen (Alun-alun Bunder) sudah
dibayangkan sebagai pusat pemerintahan yang juga dilalui jalan utama
timur-barat. Dengan demikian pemindahan letak stasiun yang berada di
sebelah timur rel ke sebelah barat rel akan lebih tepat dan serasi
dengan perencanaan kota.
Di dalam sistem perencanaan lalu-lintas Kota Malang, perempatan
antara Jalan Kahuripan, Jalan Kayoetangan (Jl. Basuki Rachmad), dan
Jalan Semeru, dijadikan sebagai pusat (titik tengah) dari sistem lalu
lintas kota. Dengan rencana pemindahan stasiun lama ke sebelah barat
dari rel kereta api, maka nantinya dari stasiun kota menuju pusat kota
menjadi sangat mudah dan dapat langsung sampai. Hal ini mengingatkan
kita pada perencanaan kota-kota di Eropa yang stasiun kereta apinya
kebanyakan juga terletak di pusat kota sehingga kita dapat mencapai
bagian lain dari kota tersebut dengan mudah. Mungkin inilah yang menjadi
tujuan utama Ir. Herman Thomas Karsten sebagai perencana Kota Malang.
Pada tahun 1927 rencana pemindahan stasiun itu dibicarakan oleh pihak
kota tetapi baru pada tahun 1930 pemindahan tersebut disetujui. Untuk
memberi kesan yang lebih monumental pada bangunan stasiun kereta api
Malang tersebut maka dari Alun-alun Bunder ke stasiun tersebut dibuat
jalan kembar yang sering disebut sebagai Boulevard pada tahun 1938. Di
tengah jalan tersebut dibuat taman, sehingga jalan tersebut kelihatan
indah. Jalan yang baru ini tanahnya lebih tinggi jika dibandingkan
dengan Lapangan JP Coenplein (Alun-alun Bunder) dan halaman depan
stasiun, sehingga orang sulit melihat kedua lapangan terbuka tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut maka direncanakan kembali profil melintang
dari jalan itu.
Jadi, bangunan stasiun itu sendiri merupakan ujung dari jalan
Daendels Boulevard (sekarang Jalan Kertanegara). Bangunan stasiun
tersebut merupakan contoh arsitektur kolonial modern yang berkembang di
Malang. Perancangan gedungnya sejauh masalah arsitekturnya dibuat oleh Landsgebouwendienst (Jawatan
Gedung Negara), sedang perancangan teknisnya oleh Jawatan Kereta Api
sendiri berdasarkan karya J. van der Eb. Pelaksanaannya dikerjakan oleh
biro Algemeen Ingenieurs en Architecten (AIA), sebuah
perusahaan pelaksana bangunan dan perancangan yang terkenal pada waktu
itu. Stasiun ini dirancang pada waktu ada desas-desus tentang Perang
Dunia II yang akan melanda Hindia Belanda. Dengan demikian
perancangannya pun harus disesuaikan dengan situasi waktu itu. Bangunan
stasiun ini selesai dikerjakan pada tahun 1941. Di Indonesia barangkali
hanya stasiun Kota Malang saja yang didesain dengan pertimbangan adanya
perang, sehingga dari peron yang satu ke peron yang lain harus melewati
terowongan.
Pembangunan stasiun kereta api ini dibuat berdasarkan nasehat dari
pihak militer. Struktur utamanya dibuat dari beton dengan sistem
konstruksi rangka beton, dan dindingnya pengisinya dari batu bata. Hal
ini diputuskan dengan pertimbangan bahwa jika ada letusan bom pada
dinding-dinding batanya maka konstruksi utamanya tidak sampai roboh.
Struktur atapnya juga dibuat dari pelat beton yang ketebalannya
diperhitungkan cukup untuk memberikan perlindungan dari bom-bom bakar.
Beberapa ruang dinas yang penting, misalnya ruang telegraf dan peralatan
pengaman, juga dibuat dari beton bertulang. Sedang lubang-lubang yang
ada dapat ditutup dengan pintu dan jendela baja yang sekaligus kedap gas
beracun. Ruang-ruang ini juga dipergunakan untuk perlindungan personal
Jawatan Kereta Api. Ruang-ruang lainnya dibuat sesederhana mungkin.
Di ruang masuk pertama (vestibule) terdapat loket-loket untuk penjualan karcis dan penerimaan barang. Di sebelah kanan ruang pertama (vestibule)
tersebut terdapat ruang khusus untuk menyimpan sepeda para penumpang.
Setelah melewati pintu kontrol, lalu memasuki peron pertama. Di sebelah
kiri terdapat kantor-kantor dinas. Di sebelah kanan terdapat ruang
tunggu untuk penumpang, dan selanjutnya tampak ruang masuk terowongan
antara peron 2 dan 3 sehingga orang harus melewati terowongan. Hal ini
dimaksudkan sebagai tempat perlindungan andaikata ada serangan udara.
Barangkali hal ini merupakan keistimewaan stasiun kota yang jarang
dijumpai pada stasiun kereta api kota-kota lainnya. Atap peronnya dibuat
dari beton, dengan sistem konstruksi shell. Tebalnya hanya 5 cm.
Secara keseluruhan stasiun ini memberikan kesan sebagai arsitektur
fungsional, yang berkembang antara tahun 1920-1940an di Eropa dan sering
juga disebut sebagai International Style. Namun seperti juga
arsitektur Barat lainnya yang diimpor, di sini selalu disesuaikan dengan
iklim, bahan bangunan serta praktek membangun. Secara keseluruhan ciri
dari arsitektur kolonial modern, yang juga sering disebut sebagai Nieuwe Bouwen
ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: berwarna putih, atap datar,
gevel horizontal, dan volume bangunan yang berbentuk kubus.
Artikel ini juga bisa sobat baca di I Love Ngalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar