orange

"WEB KA TERBESAR DI INDONESIA"-"UPDATE SETIAP HARI"-"WEB KA TERBESAR DI INDONESIA"-"UPDATE SETIAP HARI"-"WEB KA TERBESAR DI INDONESIA"-"UPDATE SETIAP HARI"-

Jepang, dari Jalur Maut Sampai Dengan Proyek Jalur Ganda dan Kereta Cepat di Indonesia



Jalur rel Sakti-Bayah (radar bandten)
Selamat dan semangat pagi sobat semua dan Salam Spoor...!!!  Semoga sobat semua selalu dalam keadaan sehat dan selalu bersemangat untuk menjalankan berbagai macam aktifitas yang ada di hari ini. Dalam postingan kali ini saya akan menulis mengenai kisah Jepang di Indonesia sob. Setidaknya di tanah yang sekarang kita kenal dengan nama Indonesia, Jepang pernah 4 kali membangun jaringan rel KA, yaitu 3 kali pada masa sebelum kemerdekaan RI, yaitu pada kependudukan Jepang di tahun 1942-1945, dan yang kedua adalah setelah kemerdekaan RI di tahun 2004 samapi dengan 2007, yaitu dalam proses pembangunan jalur ganda antara Yogyakarta sampai dengan Kutoarjo sepanjang 64 kilometer, dengan menggunakan bantuan dana dari Japan Bank for International Cooperation, sebesar 900 miliar rupiah. Bahkan kalau sobat berkunjung ke Stasiun Patukan, sobat bisa melihat sebuah prasasti yang tertempel pada dinding bangunan stasiun terkait dengan kerjasama tersebut. Tidak hanya itu, untuk batang rel yang digunakan juga merupakan batang rel yang dibuat di Jepang. Saya pernah tidak sengaja melihat waktu itu, kalau saya tidak salah lihat, terpahat pada batang relnya, sebuah tulisan menggunakan huruf Jepang. Meskipun demikian, yang terlihat jelas adalah kualitas dari batang rel tersebut jika dibandingkan dengan jalur eksisting yang ada di sebelahnya. Bahkan di tahun 2014 silam, Direktur Keselamatan Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Hermanto Dwiatmoko pernah mengatakan bahwa jalur double track lanjutan dari Kutoarjo menuju Kroya sepanjang 76 kilometer, juga akan dibiayai Jepang. Hal ini tentu menarik untuk ktia bahas bersama sob, dimana terdapat perubahan pola pendekatan yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia, dimana pada kurun waktu tahun 1942-1945 saat kedatangannya ke Hindia Belanda, Jepang membangun jaringan rel di Banten, Sumatera, dan Sulawesi dengan menggunakan jala kerja paksa yang dinamakan Romusha, dan dua jalur yang berada di Banten dan Sumatera di kemudian hari dikenal dengan "Death Railway", atau jalur maut.


Bangkai lokomotif dari jalur maut Sumatera (Zhilal Darma)
Saat kita bicara kereta api pada masa kependudukan Jepang di Indonesia, maka kita tidak akan dapat lepas dari tujuan Jepang datang ke wilayah Hindia Belanda. Jika Belanda datang ke wilayah Hindia Belanda dengan tujuan untuk berdagang (meskipun sampai akhirnya berusaha menguasai secara politik), namun Jepang datang dengan motivasi yang berbeda, yaitu untuk berperang sob. Sehingga, jika pada pasa kependudukan Belanda, kereta api digunakan sebagai sarana pendukung pergerakan roda ekonoomi dengan cara membangun jaringan distribusi barang ekspor dari perkebunan maupun pertambangan menuju pelabuhan. Maka pada masa kependudukan Jepang, kereta api justru digunakan sebagai sarana penyokong kebutuhan logistik perang yang dilakukan oleh Jepang, baik di wilayah Asia maupun di wilayah Pasifik. Yang pertama akan saya bahas adalah jalur maut yang pertama yaitu jalur yang menghubungkan antara Saketi sampai dengan Bayah, di wilayah Banten. Jalur rel sepanjang kurang lebih 89 kilometer yang membentang dari Saketi sampai dengan bayah, merupakan jalur rel yang dibangun pada masa kependudukan Jepang, dan memiliki jalur percabangan di lintas Rangkasbitung-Labuan. Jalur tersebut dibangun selama satu tahun dua bulan (14 bulan), yang dimulai pada bulan Februari tahun 1943 dan selesai dibangun pada bulan Maret tahun 1944. Jalur tersebut muali aktif dilalui oleh KA pada 1 April 1943. Adapun latar belakang dari dibukanya jalur tersebut adalah, dikarenakan Jepang menemukan sebuah dokumen dari Belanda, yang menunjukkan bahwasanya terdapat kandungan batu bara yang memiliki potensi 20-30 juta ton dengan ketebalan 80 centimeter, dan belum diekplorasi oleh Belanda dikarenakan membutuhkan modal investasi yang cukup besar .

Jalur rel Muaro-Pekanbaru ( www.pekanbarudeathrailway.com)
Berbeda dengan Belanda, jika perusahaan Belanda memiliki kesulitan pada modal investasi, maka Jepang dalam mewujudkan rencana ekplorasi tersebut, mendatangkan puluhan ribu pekerja Romsuha dari wilayah Jawa Tengah, seperti Purworejo, Kutoarjo, Purwodadi, Semarang, dan Yogyakarta. Banyak dari para pekerja baik pribumi maupun tawanan perang yang mati saat proses pengerjaan dikarenakan kelaparan,sakit, maupun karena siksaan oleh militer Jepang. Proyek Jepang kedua pada masa kependudukanya sebelum kemerdekaan RI adalah jalur maut yang berada di Sumatera, yaitu pembangunan jalur rel sepanjang 220 kilometer, yang menghubungkan antara Pekanbaru-Riau-Muaro Sijunjung yang berlokasi di Sumatera Barat. Jalur rel tersebut membentang dari sisi Barat menuju pantai Timur dengan melewati wilayah hutan. Adapun motif dari pembukaan jalur ini, sama seperti jalur sebelumnya di Saketi-Bayah, yaitu sebagai upaya Jepang untuk dapat melakukan ekplorasi batu bara, dan kemudian dikirimkan melalui pelabuhan laut menuju Singapura. Dengan dibukanya jalur ini, diharapkan dapat memeprmudah akses pengiriman batu bara yang saat itu digunakan sebagai bahan baku oleh Jepang untuk menopang perang dari wilayah Tapui menuju Pekanbaru dan kemudian dikirim menuju Singapura. Jepang mampu mengerjkan proyek ini dikarenakan, telah mempelajari terlebih dahulu sebuah arsip mengenai rencaa pembangunan jalur rel kereta api yang menghubungkan antara Pantai bagian barat dengna pantai bagian Timur Sumatra yang disimpan oleh Staatsspoorwegen (perusahaan KA milik negara). Pembangunannya sendiri dilakukan langsung melalui dua titik, yaitu dari muaro dan juga Pekanbaru dan bertemu pada satu titik. Sama seperti jalur rel maut yang berada di Saketi-Bayah, jalur rel dari Muaro menuju Pekanbaru juga dikerjalan oleh para pekerja Romusha dan juga tawanan perang. Bahkan Palang Merah Internasional mencatat, selama masa pembangunan jalur rel dari bulan Sptember 1943 sampai 15 Agustus 1945, terdapt sektiar 102.300 pekerja yang datangkan dari Jawa, dimana 80.000 diantaranya meninggal dunia. 

Pilar Jembatan Muaro-Pekanbaru (Maybi Prabowo)
Bahkan jalur ini, termasuk jalur yang sia-sia sob, alias unfaedah, kenapa? karena sudah memakan banyak korban, eh selesai pada saat Jepang menyatakan menyerah kepada Sekutu setelah dibomnya Kota Hiroshima dan Nagasaki pada bulan dan tahun yang sama (berbeda tanggal aja). Konon, rel ini hanya digunakan hanya satu kali aja sob, bayangin tuh sob, itupun untuk membawa para tawanan perang keluar dari wilayah tersebut. Belum lagi sob, untuk bahan material pembangunan jalur tersebut, Jepang mencopot bebrapa jalur rel milik Malang Stoomtram Maatschappij (Malang, jawa Timur), dan juga milik  Deli Spoorweg Maatschappij (Sumatra Utara). Bahkan tiga buah lokomotif milik DSM buatan Hanomag juga diangkut oleh Jepang dan direncakakan beroperasi pada jalur ini. Keunfaedahan tidak sampai disitu saja sob, ternyata jika ada pertanyaan, lalu kemana jalur rel tersebut sekarang? harunya kan masih ada dan kalaupun tidak digukana oleh Jepang, setidaknya dapat digunakan oleh RI yang sudah merdeka saat itu. Jawabannya sederhana sob, sesautu yang dikerjakan dengan terburu-buru, maka tidak akan baik atau dalam pepatah arab atau hadist saya lupa, diaktakan "al'ajalatu minassyaiton", ketergesa-gesaan adalah bagian dari syaitan. Begitupun halnya pada jalur tersebut sob, bayangin aja sob, 220 kilometer dari 1943 sampai 1945, dengan medan yang dilalui oleh rel merupakan hutan dengan rawa. Bahkan kalau kita merujuk pada alsan Belanda tidak membangun jalur tersebut adalah dikarenakan biayanya yang tinggi, tapi ini Jepang nekat sob. 

KRL dari Jepang (tribunnews.com)
Karena kenekatannya tersebut, kualitas konstruksi dan spesifikasi yang ada tidak sesuai dengan harapan. Bahkan tergolong tidak aman untuk dilalui oleh rangkaian KA, maka tidak heran jika berlahan bangunan jalur rel tersebut menghilang dengan sendirinya, bukan karena tidak terawat namun karena konstruksi yang dikerjakan secara asal-asalan, dikarenakan minimnya insinyur Jepang dari segi waktu dan juga orang. Maka semua struktur bangunan dikerjakan seadanya dan apa adanya. Kemudian yang terakhir adalah proyek jalur rel di Sulawesi, dimana dalam sebuah artikel diceritakan, jika Jepang pernah membangun jalur rel hanya sepanjang 8,7 km dari rencana sepanjang 77 kilometer, dari Maros-Makassar-Takalar, Hal tersebut dikarenakan posisi Jepang yang semakin terjepit dalam Perang Pasifik, dimana Jepang tidak berhasil menguasai sebuah pulau di Pasifik yang dekat dengan pangakalan militer Sekutu. Kemddian kita akan masuk pada masa setelah kemerdekaan RI di tahun 1945. Secara resmi, hubungan bilateral antara Indonesia dengan Jepang dibuka pada bulan April tahun 1953. Dimana pada tahun yang sama, juga dilakukan penandatanganan Perjanjian Pampasan Perang. Pada tahun 1954, melalui official Development Assitance (ODA), Jepang mengebangkan sebuah proyek bantuan berupa pelatihan di bidang industri, komunikasi transportasi, pertanian dan kesehatan. Pada tahun 1963, untuk pertama kalinya, jalur penerbangan antara Indonesia dengan Jepang secara resmi dibuka. Hubungan bilateral antara Indonesia dengan Jepang terus meingkat, dengan ditandai tingginya investasi yang ditanamkan Jepang di Indonesia, bahkan di tahun 2019, Jepang masih menempati posisi sebagai negara kedua setelah Singapura dengan nilai investasi tertinggi di Indonesia. Tidak hanya produk otomotif, produk-produk elektronik asal Jepangpun banyak membanjiri pasar Indonesia di era tahun 1970-2000-an.   Tidak hanya itu, melalui website resmi JICA, dapat dilihat betapa peran penting Jepang di Indonesia baik dalam hal pemberian bantuan pelatihan teknis dan juga bantuan pinjaman kepada Indonesia dari tahun 1954 sampai dengan tahun 2000-an.

MRT dari Jepang (mrt.co.id)
Dalam konteks kereta api, Indonesia juga menjalin kerjasama dengan Jepang dalam pengadaan kereta rel listrik di wilayah Jabodetabek. Pada masa awal, Pemerintah Pusat mendapatkan dana dari Inter-Govermental Group on Indonesia (IGGI) dimana salahs atu negara pendonornya adalah Jepang. Dana bantuan tersebut, direncanakan oleh PNKA untuk membeli rangkaian kereta dari Jepang. Pada pertengahan tahun 1976, terdapat 10 rangkaian KRL baru dari Jepang dengan biaya pengadaan mencapai 700 juta rupiah. Pada tanggal 2 September 1976, rangkaian KRL baru tersebut berjalan pada petak manggarai-Bogor. Dalam kurun waktu tahun 1980 sampai dengan 1985, secra aktif, Jepang memiliki peran penting dalam pembuatan rencana induk KRL di jabodetabek.Baik dalam hal penyediaan layanan jalur ganda, renovasi stasiun, elektrifikasi, sinyal otomatis persilangan, pengadaan armada KRL baru, upgrade peralatan perawatan KRL, serta perpanjangan rute baru bagi KRL juga dilakukan oleh Jepang. Bahkan ketika Indoensia mengalami keuslitan pada tanggal 4 Oktober 1985 untuk pengadaan jalur layang kereta di Indoensia, Jepang juga turut memberikan bantuan. Sampai dengan tahun 2016 sampai dengan 2020, Jepang masih memiliki peran dominan dalam perkeretapian di Indonesia, baik dalam pengadaan KRL bekas baru di Indonesia, dimana PT Commuter Indonesia memiliki kerjasama multi years dalam mendatangkan KRL bekas dari Jepang. Kahalnya Jepang dalam tender proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dari Tiongkok di tahun 2015 silam, tidak mengehentikan niat Jepang untuk menjadi negara penting di Indoensia. Beberapa proyek kereta lainya, seperti armada MRT di Jakarta juga didatangkan dari Jepang. Bahkan dalam proyek kereta cepat dengan rute Jakarta-Surabaya, Indoensia kembali memilih Jepang. (By. @kanjengharyo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...