Selamat pagi sobat semua dan
Salam Spoor...!!!! Semoga pada pagi hari yang berbahagia ini sobat semua selalu
dalam keadaan sehat dan bersemangat untuk menjalani berbagai macam aktifitas
yang ada di hari ini. Pada kesmepatan kali ini saya akan mengajak sobat semua
untuk jalan-jalan melihat sisa-sisa rel lama yang keberadaannya kini sudah
tiada karena proyek double track rel pantai Utara. Pada hari Sabtu tanggal 28
Februari lalu saya berkesempatan untuk mengunjungi rumah ibu negara di Kota
Batang. Karena dirinya bekerja dari pagi hingga sore, maka kesempatan tersebut
saya manfaatkan untuk sembari melakukan berbagai macam liputan. Keberangktan
perjalanan yang biasanya saya menggunakan travel saya ubah dengan menggunakan
kereta api dengan rute Yogyakarta-Solo-Semarang. Yaitu dengan dua kereta api
pertama menggunakan Pramek sampai Solo kemudian dilanjut dengan Kalijaga menuju
Semarang kemudian saya lanjutkan dengan Kamandaka menuju Kota Pekalongan.
KA Kamandaka yang saya tumpangi
sendiri berangkat dari Stasiun Semarang Poncol pada pukul 17.10 WIB. Pad ajam
tersebut suasana sore masih terlihat cerah, apa lagi pada hari itu cuaca di
sekitar Kota Semarang cukup mendukung, meskipun berawan namun sinar matahari
tetap dapat mengenai daratan. Hal tersebut menjadikan pemandangan yang ada di
luar kereta terlihat dengan jelas. Pada saat roda kereta api mulai berputar
saya mencoba untuk memulai memetakan jumlah stasiun dan pemandangan apa saja
yang dapat saya nikmati. Maklum saja sobat, terakhir saya melintas di jalur ini
yaitu pada tahun 1998 dengan KA Argo Bromo Anggrek generasi pertama yang masih
menggunakan livery berwarna ungu.
Saat itu jalur kereta api di
pantura sendiri masih menggunakan single track, namun perjalanan kali ini
merupakan perjalanan perdana saya untuk mencoba jalur ganda yang ada di
pantura. Saya sendiri juga sudah mendapatkan sedikit informasi dari teman-teman
komunitas yang menceritakan bahwa jalur rel lama yang ada di daerah Plabuan
kini sudah dipotong dan tidak lagi melintas di pinggir pantai, namun sedikit
diarahkan ke sebelah Selatan. Sesaat setelah kereta api yang saya naiki
meninggalkan Kota Semarang, mulai sedikit demi sedikit saya melihat bekas-bekas
bantalan rel beserta batu ballast yang masih tertanam sepanjang jalur kereta
api baru yang sedang saya lalui. Saya sangat yakin bahwa bantalan dan ballast
sersebut merupakan sisa-sisa dari peninggalan jalur tunggal yang kini telah
berubah menjadi jalur ganda.
Setidaknya terdapat di beberapa
petak yang memang jalur lama tersebut telah digeser dengan menyesuaikan jalur
baru. Hal tersebut dapat saya lihat dari bekas bantalan rel dan batu ballast
yang terkadang berada di sisi kanan kereta dan kadang pindah ke sisi sebelah
kiri. Meskipun batang besi relnya sudah tidak ada, namun sisa-sisa seperti besi
jembatan masih dapat saya lihat dengan jelas. Entah mengapa saat melihta
jalur-jalur mati kereta api saya sangat emosional, saya selalu merasa
seakan-akan tertarik kembali menuju masa silam dimana jalur tersebut masih
hidup dan berfungsi. Seakan-akan semua yang telah mati memang selalu memiliki
cerita hidupnya. Tidak hanya manusia, bahkan benda seperti jalur rel, stasiun,
dan jembatan juga memiliki ceritanya masing-masing. Mungkin inilah yang selalu
saya sebut dengan ‘Romantisme Sejarah’ yang tidak akan lekang dimakan oleh
zaman. Akan selalu ada cerita yang menyertainya disetiap zaman, maka dari
itulah saya berusaha merekam jejal-jejak yang masih dapat saya abadikan di
dalam Dipo Lokomotif Mojosari ini.
Dalam tulisan ini saya juga
menyertakan beberapa dokumentasi foto beserta video yang berdurasi sekitar
kurang lebih satu menit yang berhasil saya rekam selama dalam perjalanan kereta
api Kamandaka saat melalui petak Plabuan dari Barat menuju arah Timur. Semoga
dengan adanya tulisan ini dapat membantu sobat semua dalam memberikan informasi
terbaru khususnya yang berkenaan dengan dunia kereta api Indonesia. Terus ikuti
perjalanan saya selanjutnya hanya di Dipo Lokomotif Mojosari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar