Jenis KRDE yang digunakan uji coba |
Selamat dan semangat pagi sobat semua dan Salam Spoor...!!!!! Semoga pada pagi hari yang indah dan berbahagia ini sobat semua selalu dalam keadaa sehat dan selalu bersemangat. Tidak lupa, semoga kebahagiaan, kesejahteraan, dan keberkaha sellau dilimpahkan kepada sobat semua. Jika pada tulisan di postingan sebelumnya saya membahas sebuah kabar gembira yang saya temukan dari sebuah Rencana Induk Perkereaapian Nasional terkait dengan hal reaktivasi serta peningkatan kapasitas angkut dan peningkatan teknologi yang digunakan. Maka dalam postingan ini saya akan membahas sebuah tema yang cukup unik, dari sebuah pertanyaan sederhana, "kenapa di Malang tidak ada KA komuter seperti di Lamongan, Yogyakarta, dan Jakarta?". Namun yang harus sobat ketahui di awal, sebagai disclaimer, saya disini hanya akan menyajikan tulisan sepengetahuan saya dan tentu berbasiskan pada data dan realitas yang ada di lapangan. Lagi-lagi, disini saya bukan ahli teknik perkeretaapian, ataupun ahli tentang teknologi kereta api, disini saya hanya seorang Presiden Ghaib, penikmat kereta api wkwkwkw.... Jadi begini ceritanya sob, bukan berarti di Malang tidak ada KA komter ya sob, sebelum saya membahas alasan ada atau tidak ada KA komuter atau kereta dalam kota di Malang, ada baiknya, kita telusuri dahulu sejarah KA komuter yang pernah ada di Malang. Dahulu pada masa kependudukan Belanda, atau masa kolonialisasi, di Malang sendiri sudah pernah ada kereta dalam kota, yang kita kenal dengan trem. Saat itu jalur trem sendiri menghubungkan dari Singosari sampai dengan Dampit via Gondanglegi dan Turen. Bahkan jalurnya juga ada yang bercabang dari Stasiun Blimbing sampai dengan Pakis (menuju arah Bromo). Setidaknya Malang saat itu di bawah perusahaan Malang Stoomtram Mattschappij (MSM) memiliki jalur rel operasi sepanjang 85 kilometer, sebagai jalur layanan angkutan barang dan penumpang, dan berkantor pusat di daearh Jagalan, yang didirikan pada 14 November 1897.
Jenis rangkaian yang digunakan MSM (KITLV) |
Terdapat 8 jalur rel yang dibangun oleh MSM dalam rentang waktu antara tahun 1897 sampai dengan 1908. Pada tanggal 14 November 1897, bersamaan dengan didirikannya kantor pusat MSM, diresmian pula jalur rel pertamanya antara Malang sampai Bululawang dengan panjang lintasan 11 kilometer. Pada tanggal 4 Februari 1898, MSM secara resmi mengoprasikan jalur rel keduanya, yaitu dari Bululawang menuju Gondanglegi dengan panjang lintasan 12 kilometer. Pada tanggal 9 September 1898, pada tahun yang sama, atau tujuh bulan setelah jalur kedua dibuka, MSM kembali mengoprasikan jalur ketiganya dari Gondanglegi menuju Talok dengan panjang lintasan 7 kilometer. Tahun berikutnya, pada tanggal 14 Januari 189, MSM membukan jalur keempatnya, yaitu dengan rute dari Talok menuju Dampit dengan panjang lintasan 8 kilometer. Sedangkan pada tanggal 10 Juli 1900, MSM membuka jalur rel kelima, yang menghubungkan antara Gondanglegi dengan Kepanjen yang berjarak 17 kilometer. Satu tahun berikutnya, pada tanggal 27 APril 1901, MSM kembali membuka jalur keenam, dari Singosari menuju Tumpang dengan panjang lintasan sejauh 23 kilometer. Sedangkan pada 15 Februari 1903, MSM membuka jalur antara Blimbing sampai dengan Malang dengan panjang lintasan 6 kilometer. Dan yang terakir, adalah merupakan jalur rel terpendek yang dibangun oleh MSM di pada tanggal 25 September 1908, yaitu dari Sedayu menuju Turen dengan panjang 1 kilometer. Namun sayangnya, masa keemasan jaringan KA perkotaan yang ada di Malang harus sirna dipenghunjung tahun 1970-1980, dimana secara berlahan banyak jalurnya yang non aktif, baik karena faktor politik, ekonomi, maupun sosial. Kondisi keuangan perusahaan yang tidak mampu untuk melanjutkan biaya operasi yang cukup tinggi, dan mengharuskan KA dalam kota ini kalah bersaing dengan keberadaan tarnsportasi darat lainnya.
Jenis rangkaian dengan lokomotif kecil MSM (KITLV) |
Namun demikian, sejarah mencatat, bahwa KA perkotaan pernah ada di wilayah Malang, seperti halnya di kota-kota besar lainnya di Indonesia (Batavia, Surabaya, Semarang, Kediri, Jombang, Mojookerto, Probolinggo, dll). Namun ada kabar gembira di tahun 2012 silam, saat itu saya masih berstatus sebagai mahasiswa aktif di Malang. Secara tidak sengaja saya membaca, bahwa akan ada kereta ujicoba berupa kereta rel disel (KRD), yang akan melintas dengan rute dari Lawang sampai dengan Kepanjen, dan digadang-gadang akan digunakan sebagai kereta komuter. Tepat pada hari Rabu tanggal 11 Juli 2012 silam, dilakukanlah sebuah ujicoba KA Komuter dengan menggunaan rangkaian KRDE eks KRL Holec yang dibawa dari Surabaya menunu Lawang, dan akan diujikan pada lintas Lawang sampai dengan Kepanjen. Namun sayangnya, kereta yang rangkaiannya terdiri dari 4 kereta tersebut gagal jalan akibat tergelincir ketika baru akan meninggalkan Stasiun Malang, yaitu di ketinggian 15 permil atau 475 mdpl. Bahkan, rangkaian KRDE tersebut juga sudah mengalami gangguan pada saat dalam perjalanan dari Surabaya menuju Lawang, dimana rangkaian sempat mengalami macet sampai dengan empat kali di jalur menanjak antara Bangil sampai dengan Lawang yang memiliki tingkat kemiringan dari 9 Mdpl menuju 484 Mdpl, atau dengan tanjakan dan turunan setinggi 475 Mdpl dan tingkat kemiringan 23 derajat yang mungkin terlalu berat bagi sebuah rangkaian kereta tanpa lokomotif sejenis KRDE. Tidak hanya macet, rangkaian KRDE juga sempat beberapa kali mengalami ganguan pada sistem pengeremannya. Bahkan dari gagal uji coba tersebut menyebabkan tiga perjalanan KA terhambat, yaitu KA Tawanglaun (tertahan di lawang) dan dua rangkaian KA Penataran (tertahan di Blimbing dan Sukorejo). Sampai akhirnya, KA kometer yang diharapkan dapat beroperasi pada musim lebaran tahun 2012 tersebut, harus ditarik kembali ke Surabaya.
Jalur rel yang cukup ekstrim untuk KA Komuter |
KA Komuter Malangan tersebut direncanakan akan beroperasi dengan mneggunakan 5 unit rangkaian yang masing-masing rangkaian teridid dari 5 kereta penupang dengan fasilitas AC, toilet, dan posisi kursi kelas ekonomi saling berhadapan, dengan kecepatan operasional KA 60 kilometer perjam. Untuk kapasitas angkutnya sendiri, terdapat 36 kursi pada kereta satu, 70 kursi pad akereta dua, 68 kursi apda kereta tiga dan empat, serta 66 kursi pada kereta lima, dengan tolerasni penumpang berdiri sebanyak 25 persen. KA Komuter memang dapat menjadi moda transportasi andalan bagi warga Malang yang ingin berpergian baik dari Kepanjen menuju Lawang maupun dari Lawang menuju Kepanjen. Hal tersebut dikarenakan, selama ini, masyarakat yang ingin berpergian menuju Kabupaten, masih memiliki minim akses, dikarenakan harus berpindah-pindah moda transportasi. Bahkan, setelah dua kali gagal dalam uji coba tersebut, dinas perhubungan Kota Malang mengusulkan untuk mengubah jalur trayek KA, tidak lagi sampai Lawang, namun hanya sampai di Singosari. Tujuannya adalah, untuk menghindari jalur rel yang menanjak, dan memperpanjang rutenya sampai dengan Sumberpucung. Bahkan untuk besaran tarifnya sendiri, dipatok pada kisaran angka Rp 12.000 untuk rute Lawang-Kepanjen. Namun yang menjadi pertanyaan mendasarnya adalah, apa yang menyebabkan rangkaian KRDE gagal dalam dua kali uji coba tersebut? apakah karena ketidak mampuan KA untuk melewati lintasan yang cukup terjal? atau karena ada faktor lain?
Rangkaian KA yang cukup kecil dan ringan |
Dalam tulisan ini saya akan mencoba mengulasnya sob, jadi begini, kalau kita bilang karena faktor teknis akibat elevasi ketinggian yang terlalu terjal sehingga membuat rangkaian KA tidak dapat melaju menjadi faktor penghambat pada sesi uji coba, lalu bagaimana dengan kereta-kereta milik MSM dulu sob, yang beroperasi sampai dengan Dampit dan juga Tumpang yang memiliki ketinggian 578 untuk Tumpang dan 459 untuk wilayah Dampit dan kereta-kereta dengan tenaga uap tersebut cukup kuat untuk melaju. Saya melihat ada beberapa faktor teknis yang menarik untuk kita bandingkan sob. Yang pertama adalah jenis material dan spesifikasi rangkaian KA. Jika kita melihat spesifikasi dan material yang digunakan oleh MSM, tentu sangat jauh berbeda dengan KRDE dari INKA, dimana MSM menggunakan jenis kereta yang lebih kecil dengan bahan material yang masih didominasi oleh kayu dan besi, sehingga dari segi bobot tentu jauh lebih ringan, dan dari segi jumlah penumpang dan daya angkut jauh lebih sedikit. Tentu hal tersebut memungkinkan bagi kereta-kereta MSM untuk melewati beberapa medan sulit di wilayah Malang, meski dengan menggunakan lokomotif bertenaga uap. Sedangkan yang digunakan oleh KRDE adalah, dari bahan material didominasi oleh besi dan baja serta secara spesifikasi lebih tinggi, panjang, dan lebih lebar. Meski menggunakan tenaga disel jauh lebih besar dari tenaga uap, kemungkinan energi yang dikeluarkan tidak cukup kuat untuk mengoprasikan spesifikasi kereta dengan lintasan yang curam.
Jalur KA perkotaan di tengah kota Malang (KITLV) |
Tapi saya melihat ada sesuatu lainnya yang dapat dibandingkan sob, yaitu jalur lintasan yang dilalui. Jadi begini sob, secara teknis, yang dilalui oleh KRDE uji coba tersebut adalah jalur rel milik Staatsspoorwegen (SS), perusahaan KA negara milik Belanda pada masa Hindia Belanda, yang nota bene, rangkaian yang melintas di atasnya adalah rangkaian-rangkaian kereta besar dengan penggerak lokomotif berkapasitas besar. Penggunaan lokomotif besar tersbut bertujuan agar rangkaian KA dapat dengan mudah melewati jalur rel yang memiliki tingkat kemiringan yang cukup terjal. Sedangkan untuk jalur rel milik MSM, merupakan jalur rel independen yang kalau sekarang kita lihat bekasnya, dapat kita lihat bahwa jalur rel MSM dibuat untuk terus memeprtahankan kelandaian yang ada, sehingga rangkaian KA tidak perlu bekerja keras. Maka tidak heran kalau sobat berkunjung ke wilayah-wilayah bekas jalur rel milik MSM, sobat akan melihat, bahwa jalur rel memiliki ketinggian berbeda dengan wilayah sekitar, dan cenderung akan terus mempertahankan tingkat ketinggiannya meski topografi wilayah sekitar tidak rata seperti ada tanjakan ataupun turunan curam. Hal itulah kemungkinan yang menjadi salah satu syarat bagi beroperasinya KA komuter, yaitu kondisi lintas jalur rel yang rata yang berbeda dengan jalur lintas rangkaian KA dengan lokomotif.
Bahkan jika pertanyaannya adalah apakah akrena tanjakan yang terlalu curam, lalu bagaimana dengan beberapa pengoprasian KRDE serupa yang ada di Daop 2 Bandung dari Cicalengka sampai dengan Padalarang, dan juga KRDE Bumi geulis yang melayani rute dari Sukabumi sampai dengan Bogor juga mampu berjalan di tanah dengan topografi tinggi. Namun demikian, beberapa hal lain yang perlu diperatikan adalah elevasi tingkat ketinggian yang ada di lokasi tersebut, bisa jadi tingkat ketinggiannya di Bandung dan Malang sama, namun berbeda pada tingkat kecuraman, yangmana kemungkinan hal tersebut dapat mempengaruhi performa dari rangkaian KA. Dalam sebuah wawancara, Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Malang Nazaruddin mengatakan bahwa "Komuter memang bukan untuk perjalanan jauh, sebab tipikal komuter hanya untuk jarak pendek saja dan tidak cocok untuk dataran tinggi seperti di Malang". Nah itu dia sobat, beberapa faktor yang kiranya dapat menjadi perbandingan mendasar, jika muncul pertanyaan, kenapa sekarang tidak bisa dan pada masa Belanda bisa. (ditulis oleh @kanjengharyo)
Bahkan jika pertanyaannya adalah apakah akrena tanjakan yang terlalu curam, lalu bagaimana dengan beberapa pengoprasian KRDE serupa yang ada di Daop 2 Bandung dari Cicalengka sampai dengan Padalarang, dan juga KRDE Bumi geulis yang melayani rute dari Sukabumi sampai dengan Bogor juga mampu berjalan di tanah dengan topografi tinggi. Namun demikian, beberapa hal lain yang perlu diperatikan adalah elevasi tingkat ketinggian yang ada di lokasi tersebut, bisa jadi tingkat ketinggiannya di Bandung dan Malang sama, namun berbeda pada tingkat kecuraman, yangmana kemungkinan hal tersebut dapat mempengaruhi performa dari rangkaian KA. Dalam sebuah wawancara, Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Malang Nazaruddin mengatakan bahwa "Komuter memang bukan untuk perjalanan jauh, sebab tipikal komuter hanya untuk jarak pendek saja dan tidak cocok untuk dataran tinggi seperti di Malang". Nah itu dia sobat, beberapa faktor yang kiranya dapat menjadi perbandingan mendasar, jika muncul pertanyaan, kenapa sekarang tidak bisa dan pada masa Belanda bisa. (ditulis oleh @kanjengharyo)
Artikel yg menarik lur,�� g ada komuter g msalah ,KA Penataran aja yg di tambahi hehe
BalasHapusKalau Penataran mau ditambahkan juga sulit mas, mengingat KA Pentaran adalah KA PSO, dan juga terkait dengan hitungan okupansi dan operasional kereta.
BalasHapus