Kebanyakan
masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa palang pintu kereta api merupakan
rambu utama untuk menghentikan laju kendaraan saat ada kereta api yang akan
melintas. Jadi logikanya adalah, jika ada perlintasan kereta api yang tidak ada
palang pintunya, maka KAI wajib untuk memberi palang pintu kereta api di
perlintasan tersebut. Maka tak heran, kalau banyak kritikan yang datang dari
berbagai arah dengan bunyi “banyaknya perlintasan liar tidak berpalang pintu”.
Sekarng mari
kita kembalikan pada peraturan yang benar pada undang-undang perkereta apian.
Saat melintasi beberapa perlintasan kereta api yang berpalang pintu, biasanya
bunyi dari undang-undang tersebut sering disebutkan. Kurang lebih,
undang-undang tersebut berbunyi seoerti ini “Palang pintu perlintasan, bukanlah
rambu utama. Melainkan hanya sebagai alat pengaman bantu perjalanan kereta api”.
Hal ini juga tertulis di Pasal 114 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Pasal 124 UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.
Kedua pasal itu mengatur, setiap kendaraan wajib berhenti ketika palang pintu
perlintasan sudah ditutup dan sinyal sudah berbunyi.
Sekali lagi,
logika yang benar adalah, alat tersbut bukanlah pengaman kendaraan, melainkan “alat
pengaman perjalanan kereta api” itu sendri. Sekarang coba sobat bayangkan,
jikalau PT KAI harus memberi semua perlintasan kereta dengan palang pintu,
harus berapa triliun yang di keluarkan PT KAI menginggat banyak sekali
jalan-jalan baru yang liar yang dibangun oleh warga setempat. Belum lagi jika
dibangun perlintasan berpalang pintu, PT KAI juga harus membiayai penjaga yang
menjaga, jadi harus ada pengeluaran kembali. Nah kembali pada pertanyaan dasar
adalah. Duluan mana sih Jalan kereta api sama jalan raya yang melintasinya? Hehehe...
tetap dahulukan kereta api ya sobat, tengok kanan dan kiri dulu sebelum
melintas.
PJL Waru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar